The thought that in a few months after all the painful hours I spent at work each day I’d be somewhere traveling for a few days is one of the things that keeps me going everyday. But due to the covid19 pandemic many plans got cancelled; now I’m even taking a month off of work. I guess what I need right now is pretty much something keep me occupied, or at least something fun to do during this stay-at-home period, just like everyone else on Instagram who seemed so busy doing their hobbies or learning new skills. And all this eventually led me to revisit an old hobby; sending postcard and snailmail. I know I still have to go out to the post office to send them but it’s only 500 meters from my house.
It’s been some time since the last time I sent postcard and I rarely did the direct swap either. I pretty much didn’t stock up on the postcards to actually start sending one again, so I decided to make one with some photos taken by yours truly using analog cameras & mirrorless. Yayy! Another stuff to keep me occupied, plus..our photos don’t only end up on the gram.
The postcards I made with photos from analog camerasThe postcards I made with photos from mirrorless camera
To keep the postcards and other stuffs for snail mailing, I provide 2 boxes; one for the postcards (blank and incomings), snail mails, & handmade envelopes, while the other one is used to keep stamp supplies, washi tapes, image cutouts and whatnot. I know it’s not really much but it makes me easier to organise them rather than to put them in the same box.
My blank postcardHandmade Envelope for Snail MaiStamps, image cutouts, washi tapes, and vintage papers.
Anyway if you’re interested to swap your postcard with mine please let me know. Or if you want to send yours to me that would be great :3
You can see my postcards on my other instagram account created specially for postcard & snail mail thingy @kartuposnadya ♡♡
Ngga kerasa udah seminggu lebih aku work from home dan ngedekem di rumah. Selama itu pula aku sama ayah akhirnya berhasil beberes rumah dan buangin barang-barang yang udah ga kepake. Bahkan kita berhasil ngumpulin 131 kilogram kertas bekas untuk kita jual. Sayangnya uang hasil penjualannya langsung dirampas gitu aja sama adek. Nduwe adek kok koyo preman.
Btw aku lagi ikut beberapa giveaway kamera analog di Instagram. Doain ya semoga menang lagi. So far aku baru menang 2 kali dari sekian belas giveaway yang aku ikutin. Kamera Nikon EF400SV yang kemarin udah ku publish adalah salah satunya. Nah mumpung lagi ada motivasi untuk nulis, jadi mari kita lanjutkan cerita tentang hasil giveaway berikutnya, yaitu kamera analog Cannonmate AF 1000.
Cannonmate AF1000
Cannonmate AF 1000 ini adalah kamera hasil giveaway pertamaku. Sebenernya ada cerita yang cukup menggelikan dibalik giveaway yang sebenernya tidak aku ikuti tapi malah aku menangkan ini. Hloo hlooo kok bisaa? Haha ya gitudeh *yaelah nanggung amat ceritanya*. Btw awalnya ku pikir Cannonmate itu ya Canon lho, eh ternyata beda ya walaupun namanya mirip mirip?
Box kamera Cannonmate AF1000Instructions book dan kartu garansi Cannonmate AF1000
Cannonmate AF 1000 yang kudapet ini kondisinya NOS (New Old Stock) alias barang baru tapi stock lama, biasanya sih mereka dapet dari toko yang udah tutup tapi masih punya stock kamera baru yang belum laku. Karena NOS, jadi kelengkapan kameranya masih yahuuud yaitu masih ada box, kartu garansi (walaupun udah gabisa dipakai), dan instruction booknya. Kondisi kameranya sendiri sih Alhamdulillah masih bagus. Body nya mulus, flash nyala, rewind aman, pokoknya fungsional semua. Cuma yang aku kurang suka adalah ukuran kamera ini cukup besar untuk kamera pocket. Bulky aja gitu. Nih ya bandingin sama kamera-kamera yang lain.
Kamera Cannonmate AF1000 nya ada ditengah ya, dia paling gede dan tebel compared to others.
Aku nyobain kamera ini pakai film Kodak Color Plus 200, film sejuta umat yang sekarang harganya sudah tidak merakyat lagi huhuhu. Untuk bisa beroperasi kamera dengan motor drive ini membutuhkan 2 buah batre AA, jadi setelah kalian jepret, filmnya udah otomatis bergeser sendiri dan kalau misal udah mentok nanti tinggal geser tombol rewindnya dan filmnya udah tergulung sendiri ke dalam canister. Kamera point and shoot model gini nih yang aku suka soalnya ngga ribet.
Selama di Jogja aku sempet bawa kamera ini waktu main ke Seribu Batu Songgolangit, Imogiri. Pas itu cuacanya agak mendung, tapi berhubung flashnya nyala jadinya gabegitu masalah. Kebetulan aku gabegitu banyak ngambil gambar karena, jadi aku cuma bisa nunjukin sedikit aja:
Untuk foto pertama, ini ngefotonya dari jarak jauh soalnya aku malu kalau harus mendekat wkwk jadi mohon maaf kalau ngeblur. Fotonya B aja sih ya, tapi masih okelah ya 🙂
Aku juga sempet bawa kamera ini pulang ke Tasik bulan February lalu, tapi sebagian besar hasilnya ga memuaskan karena lagi lagi LENSA KAMERANYA KETUTUPAN JARI AING ANJIR KESYEEL BANGET GAK TUH? Udah cape cape jalan kaki biar bisa hunting gataunya adaaaa aja jari yang nutupin sebagian lensa kameranya. Tulul. Tapi tetep akan aku post beberapa fotonya, sebagai pengingat agar next time lebih berhati-hati dalam motret.
Statsiun Lempuyangan, nunggu keretanya berenti, captured with Cannonmate af1000 + kodak color plus 200, desvcanned by anakanalog.ykKereta di Stasiun lempuyangan, captured with Cannonmate af1000 + kodak color plus 200, desvcanned by anakanalog.ykJl. HZ Mustofa di Tasikmalaya, captured with Cannonmate af1000 + kodak color plus 200, desvcanned by anakanalog.yk
Huhuhu kesyel bange asli 😦 padahal pengen motret keadaan Kota Tasik sore-sore tapi malah hasilnya begini. Tapi masih bisa ditangkep lah ya suasana yang mau ditampilin difotonya? :((
Udahan dulu deh cerita kali ini, nanti aku bakal lanjut lagi nulis tentang kamera analog yang lainnya. Bye-bye ❤
Mumpung lagi mood, lanjut cerita-cerita soal kamera analog lagi yuk! Kamera yang ku pakai kali ini adalah Nikon EF400SV dengan film Kodak Vision 3 500T. Ini adalah kali pertama aku nyobain kamera dari nikon, karena sebelumnya selalu pakai keluaran Fujifilm.
Kira-kira begini tampilan dari kameranya:
Nikon EF400SV
Dari segi tampilan, cantiq kayak aku dan menawan sekali bukan? Eh gimana sih harusnya kalo ngedeskripsiin kamera? Hahaha. Yaa pokoknya dia tuh bener-bener a pocket-sized point and shot camera yang super lightweight tapi nggak berasa ringkih. Kalau dibawa kemana-mana tuh praktis aja gitu, tinggal dikalungin biar seluruh dunia tau kalau kalian adalah anak antimainstream yang punya dan main kamera analog wkwkwk *gakdeng
Tampak belakang dari Nikon EF400SV
First thing that I noticed ketika pertama pake adalah….wow view findernya gede juga dan bening abis, mantap buat ngeliat objek yang mau kita bidik. Terus, disebelah lensa Nikon 28mm nya ada tombol on-off untuk flashnya juga lho, tapi aku pribadi belum pernah ngotak atik tombolnya sih jadi flashnya selalu nyala. Oiya, kamera ini jenisnya otomatis dalam hal wind-and rewind, jadi kalau abis jepret langsung muter deh filmnya, dan kalau filmnya udah mentok/abis nanti otomatis ngerewind sendiri deh. Kamera ini membutuhkan 2 batre AA if you want to use it.
Kayanya udah cukup ya soal kameranya? Makin panjang tulisannya kayaknya malah bikin makin keliatan kosong otaknya soal perkameraan.
Langsung aku liatin hasil fotonya ajalah ya. Foto foto ini adalah hasil hunting di area landasan pacu pantai depok, gumuk pasir, pantai tall wolu, dan juga pantai parangkusumo.
Ini salah satu foto favorit dari roll ini, soalnya pemandangan dan komposisi fotonya berasa pas aja gitu Yaelah tau apaansih nad soal komposisi foto wkwk bct.
Landasan pacu pantai depok, captured with Nikon EF400SV + Kodak Vision 3 500T, devscanned by anakanalog.yk
Hasil foto mobil dengan background pantai ini adalah my most favorit. Hasilnya sesuai banget sama apa yang ada dibayanganku. Would be perfect kalau ngga ada orang dibelakang yang lagi duduk diatas motor. Tapi masih bisa di crop sih kalau mau.
Pantai apa ya duh lupa, captured with Nikon EF400SV + Kodak Vision 3 500T, devscanned by anakanalog.yk
Nah kalau foto bapak-bapak dengan alat pancingnya ini sebenernya kayak agak nanggung karena beliau hanya kefoto separo, tapi aku suka liat gulungan ombak-ombaknya dan warna air lautnya jadi aku post saja hehehe
Pantai Parangkusumo, captured with Nikon EF400SV + Kodak Vision 3 500T, devscanned by anakanalog.yk
Kalau lagi berdiri dipinggir pantai dan nungguin ombak datang, kalian suka liatin busa-busa yang muncul dari air lautnya gaksih? Kalau iya, berarti kita sama. That’s why I took picture of it, cause I simply love it.
Sunset in Pantai Parangkusumo, captured with Nikon EF400SV + Kodak Vision 3 500T, devscanned by anakanalog.yk
Yang terakhir ini adalah foto sunset di Pantai Parangkusumo sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Aku baru sadar kalau selama ini kayaknya aku jarang banget bahkan hampir gapernah nikmatin sunset di pantai. Ternyata secantik itu ya sunset di pantai 😦
Untuk beberapa waktu kedepan kayaknya aku ngga bakal hunting dulu, mengingat kondisi diluar saat ini masih belum aman. Semoga pandemi covid19 ini segera berakhir yaa.
Oke deh, udahan dulu ya tulisan tentang Nikon Ef400SV nya. Sampai ketemu dipostingan selanjutnya. Bye bye.
Halooo, kali ini aku mau sedikit cerita pengalaman selama –njepret njepret asal– pakai kamera analog Fujifilm Axion dengan film Fujicolor C200 sekalian nunjukin hasil fotonya. Berikut ini adalah penampakan dari keduanya:
Fujifil Axion + Fujicolor C200
Hasil foto dari Fujifilm Axion ini belum pernah ku posting di feeds Instagram sih, tapi kalau di story sepertinya pernah. Btw kalau kalian sering menemukan foto di Instagram dengan hashtag #35mm dengan efek efek jadul, nah itu berarti foto-foto tersebut diambil menggunakan kamera analog. Ya walaupun bisa juga sih online shop yang jual peninggi badan ngiklan dengan hashtag #35mm.
Fujifilm Axion ini jenisnya point and shoot, jadi gaperlu mikir gimana cara fotonya, pokoknya gaperlu keahlian khusus atau tekhnik yang gimana gimana untuk menggunakan kameranya. Cocok banget buat yang anti ribet, dan maunya yang praktis praktis aja kayak aku. Cukup buka penutup lensa, intip objek yang akan difoto dari view finder, terus jepret deh. Oiya, jangan lupa juga berdoa supaya gambar yang dihasilkan tida ngaco, dan jangan sampai jari kalian menutupi lensa kameranya! Honestly, ini adalah kebodohanan yang masih terus kuulang dari kamera pertama hingga kamera ketigaku. Heran deh udah ganti kamera tetep aja penyakitnya gailang-ilang. Hati-hati ya teman teman newbieku, kalian gamau kan kalau hasil foto kalian ada bayangan tangannya seperti ini?
Fujifilm Axion ini bukan kamera analog pertamaku, tapi gatau kenapa berkesan aja karena hasil fotonya menurutku lebih memuaskan dari kameraku yang pertama alias si Fujica M1, jadi aku pengen nulis tentang ini lebih dulu. So far, aku seneng sih pakai ini karena bentuknya kecil, pocket size banget, udah gitu warnanya juga cakep. Tipe-tipe warna yang hits ditahun 90an, ceunah. Udah gitu aku lumayan beruntung karena barangnya masih bagus, body oke dengan sedikit baret bekas pemakaian, view finder bening, flash nyala terang benderang, rewind jalan, ruang film bersih, tutup kamera ga seret. Pokoknya overall fungsional deh.
Aku cobain kamera ini untuk hunting di sekitar kawasan 0 KM Malioboro sekitar pukul 5 sore. Karena dia udah ada built in flashnya dan alhamdulillah flasnya works normally, jadinya waktu aku pakai untuk foto sore-sore pun masih aman banget. Objek bidikanku masih terlihat jelas pokoknya. Sayangnya kamera ini autoflash dan ga dilengkapi dengan tombol on off untuk flashnya, jadinya flashnya akan nyala setiap kalian motret. Terus masalahnya apa? Yaaa.. ga ada masalah apa-apa sih, cuman gabisa foto diam-diam tanpa bikin orang kaget sama flashnya aja.
Dalam hal jepret menjepret, kamera ini udah otomatis dalam hal winding and rewinding filmnya, alias udah motorized. Kalian tinggal jepret dan filmnya akan bergeser sendiri tanpa perlu muter-muter gerigi film/ngokang. Kalau filmnya sudah mentok, kalian tinggal geser tombol rewind dan filmnya akan tergulung kembali masuk ke canister. Untuk menjalankan fungsi tersebut, Fujifilm Axion ini menggunakan batre jenis AA sebanyak dua buah saja. Ngausa banya banya.
Suda ya basa basinya, sekarang kita langsung liat hasil dari Fujifilm Axion dengan film Fujicolor C200.
Kopi Pakpos, captured with Fujifilm Axion, film Fujicolor, and devscanned by Anakanalog.ykKantor Pos Besar Yogyakarta, captured with Fujifilm Axion, film Fujicolor, and devscanned by Anakanalog.ykJl. Malioboro, captured with Fujifilm Axion, film Fujicolor, and devscanned by Anakanalog.ykAku hehehe, captured with Fujifilm Axion, film Fujicolor, and devscanned by Anakanalog.yk
Mon maap kalo hasilnya masih pas-pasan dan terkesan ngawur, ya namanya juga masi belajar. Kalo kalian mau coba-coba main analog, kamera ini bisa banget dicobain karena gaperlu nyetting apa-apa lagi. Tapi kalau pengen serius ngulik kamera, mungkin bisa cobain range finder atau slr, bukan point and shoot kayak gini.
Yak, sepertinya segini dulu untuk cerita tentang kamera Fujifilm Axion-nya. Semoga bisa segera nulis tentang kamera-kamera lainnya. Sampai jumpa ditulisan berikutnya 😀
Selama ini Kasongan dikenal sebagai pusat kerajinan gerabah. Tapi tiga tahun belakangan ini, selain gerabah di Kasongan juga udah mulai banyak toko yang menjual perabotan rumah tangga yang kekinian dan tempat makan baru yang enak buat nongkrong atau sekedar bersantai sambil nikmain suasana alam di Kasongan.
Salah satu tempat makan yang aku cobain yaitu Aroma Kasongan yang beralamat di Jalan Kasongan Raya 69 Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, atau kurang lebih 250 meter dari gerbang Kasongan. Tempat ini ada di kiri jalan ya kalau kalian datang dari arah gerbang Kasongan, gampang ditemuin deh pokoknya apalabi kalo ngikutin Google Maps.
Berhubung Aroma Kasongan ini berada di jalan Kasongan yang mana merupakan akses jalan untuk aku pergi kuliah atau kerja, jadi hampir tiap hari selalu lewat di depannya. Mungkin udah ada tiga tahunan kali ya Aroma Kasongan ini beroperasi, tapi aku baru sempe icip-icip rabu minggu lalu (13/11).
Kalau kalian liat dari luar, bangunan Aroma Kasongan ini terbilang tidak terlalu besar, namun begitu kalian masuk teryata di dalam terdapat cukup banyak meja dengan berbagai hiasan di meja dan dinding yang unik yang tertata dengan sangat cantik. Jadi mereka ini punya ruang indoor dan semi-outdoor gitu. Ruang indoornya ada dibagian depan, dihiasi berbagai pernak pernik antik. Sedangkan bagian semi-outdoor ada dibagian belakang dimana pengunjung dihadapkan view sawah, dan ada kolam ikannya jua yang menamba nuansa adem di Aroma Kasongan ini.
Bagian depan/indoor di Aroma Kasongan
Aku milih untuk duduk di bagian belakangnya, biar lebih adem aja sih kena angin sepoi-sepoi dari sawah sambil denger gemericik suara air di kolam ikannya, secara Jogja lagi super panas banget cuy belakangan ini. Gangerti lagiiiii.
Bagian belakang/semi-outdoor di Aroma Kasongan
Pas aku kesana kebetulan lagi ada bule yang lagi belajar bahasa Indonesia gitu. Entah mereka udah berapa lama duduk situ. Gak lama kemudian datang lagi 2 orang bule yang makan disana, tapi di meja yang berbeda. Ini tempatnya emang enak buat duduk ngobrol berlama-lama gitu sih. Hawanya bikin ga pengen pulang saking ademnya dan nenangin banget.
Setelah dirasa mendapat tempat yang pas, akhirnya aku mulai untuk pilih-pilih menu makanan dan minumannya. Untuk makanan utamanya sih semuanya makanan jawa rumahan gitu dari mulai Nasi Campur Jawa, Gado-gado, Nasi Goreng Aroma, Opor Ayam, Kari Ayam Pedas, dan ada juga dalam bentuk rice bowlnya, tapi tetep dengan menu jawanya. Oiya mereka juga nyediain Nasi Campur untuk Vegetarian loh, it’s a plus! Untuk harga menu utamanya berkisar antara IDR 25.000-40.000. Sedangkan untuk menu tambannya berkisar antara IDR 5.000-25.000.
Menu Makanan di Aroma Kasongan
Untuk menu minumannya, Aroma Kasongan menawarkan beberapa varian kopi, jus, dan minuman lain yang unik seperti lidah buaya, twinning tea, green tea, dan infused water. Harga minumannya berkisar antara IDR 10.000-20.000.
Menu Minuman di Aroma Kasongan
Setelah memilah-memilah menu makanan dan minuman, akhirnya pilihanku jatuh ke Nasi Campur Jawa dengan Sate Lilit Tuna seharga IDR 40.000 dengan minuman Infused Water (timun + lemon + mints) seharga IDR 10.000. Sebagai cemilannya aku juga pesen carrot cake nya yang katanya the best carrot cake in Jogja seharga IDR 25.000.
Btw mereka cukup unik dalam hal penyajian makannya. Makanan yang aku pesan alias Nasi Campur Jawa dengan Sate Lilit Tuna ini ditaruh diatas piring bulat berbahan…apa ya? Kayak kaleng, seng, apalaah itu, pokoknya mirip bahan gelas jadul yang warnanya hijau loreng-loreng putih punya kakek/nenek kalian gitu. Seporsi Nasi Campur Jawa dengan Sate Lilit Tuna ini terdiri dari Nasi + Tempe + Lodeh Kampung + Bihun + Sambal Ikan Teri Kacang + Sate lilit tuna. Honestly, porsi lauknya lumayan banyak buatku. Mungkin porsi lauknya bisa dikurangin dan porsi nasi nya ditambah. Tapi untuk rasanya sih enak banget. Sate lilitnya juaraaaa!
Nasi Campur Jawa dengan Sate Lilit Tuna Aroma Kasongan
Untuk minumannya, aku puas sih sama Infused Waternya soalnya emang beneran nyegerin dikala jogja lagi panas-panasnya. Mintsnya beneran ngademin banget. Waktu itu aku lagi emang gatertarik sama minuman jus-jus yang ada dan lagi pengen yang seger-seger, dan si Infused Waternya emang senyegerin itu.
Infused Water Aroma Kasongan
Sebagai penutup menurutku Carrot Cake ini wajib dicoba buat pencuci mulut sih. Biarpun ukurannya terlihat kecil, kayak cupcake gitu, tapi ini lumayan bikin kenyang juga lho. Udah gitu taburan almondnya dan creamnya bener-bener enak banget dan gak enek. Tekstur rotinya emang agak rapuh gitu, dan kalian bisa rasain ada serpihan wortel di dalam kuenya *yaiyala namanya juga carrot cake, bukan eggplant cake* yang menambah rasa untuk dari carrot cake ini. Kalau kalian mau ngemil sehat bisa nih cobain carrot cakenya!
Carrot Cake Aroma Kasongan
Ya kurang lebih begitu lah ya pengalamanku selama nyobain makanan di Aroma Kasongan. Secara keseluruhan, menurut aku pribadi nilai yang aku kasih buat Aroma Kasongan ini adalah 8.5/10 untuk makanannya dan 9/10 untuk tempatnya. Mungkin kalau kalian main ke Jogja bagian selata, bisa nih mampir ketempat ini dan langsung cobain sendiri makannya.